INDONESIANEWS.TV – JAKARTA: Pilkada Serentak 2020 melarang jenis kegiatan kampanye pentas seni, panen raya, konser musik, jalan santai, perlombaan, bazar, donor darah, dan hari ulang tahun partai, dan kampanye akbar.
Hal itu itu diatur dalam Pasal 88C ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-alam.
Larangan jenis kegiatan kampanye tersebut memang melegakan, sebab kampanye yang memberi ruang terjadinya kerumunan massa ditiadakan.
Jadi, bentuk kampanye lain yang tidak melanggar aturan dapat dilakukan melalui media sosial atau media daring. Melalui media ini kampanye dapat dilakukan secara dialogis dan partisipatif.
Demikian disampaikan Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kepada para awak media, Sabtu (26/9/2020).
Menurut Jamiluddin, kampanye melalui media sosial atau media daring memang direkomendasikan oleh banyak pihak, sebab jumlah pengguna internet pada akhir Januari 2020 sebanyak 175,4 juta orang dari total penduduk 272,1 juta jiwa.
“Dari jumlah itu, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet,” kata Jamiluddin.
Dengan asumsi itu, ujar Jamiluddin, kampanye Pilkada Serantak 2020 yang akan dimulai hari ini, akan marak di media sosial atau media daring.
“Media ini akan ‘dibanjiri’ pesan-pesan politik dengan berbagai ajakan baik yang indirect maupun direct,” tutur Penulis Buku Kisah dan Kiat Presenter Sukses ini.
Namun, lanjut Jamiluddin, maraknya kampanye melalui media sosial atau media daring itu diperkirakan hanya di sebagian daerah saja.
“Sebab, menurut Bawaslu, masih ada kendala akses internet di 541 kecamatan di daerah yang menggelar pilkada,” terangnya.
Jamiluddin menilai, daerah yang akses internetnya masih terbatas akan menyulitkan bagi peserta pilkada menyapa para calon pemilih.
“Para calon pemilihnya juga nantinya tidak akan mengetahui banyak dengan calon yang akan dipilihnya,” jelas Dosen Krisis dan Strategi Public Relation Universitas Esa Unggul Jakarta ini.
Jamiluddin berpendapat, pelaksanaan kampanye seperti itu tentu tidak berjalan optimal, lantaran Hakekat kampanye untuk memperkenalkan para kandidat akan dinilai gagal.
“Kalau hal itu yang terjadi, maka ada kemungkinan pemilih rasional akan memutuskan golput. Tidak cukup informasi bagi kelompok pemilih seperti ini untuk menilai calon yang akan dipilih,” ungkapnya.
Sebaliknya, sambung mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini, bagi pemilih irasional, para calon pemilih akan memilih tanpa mengenal sang calon dengan baik.
“Pemilih tipe ini akan rentan dengan politik uang. Prinsip wani piro dikhawatirkan akan marak pada Pilkada Serentak 2020,” tegasnya.
Lebih lanjut, Jamiluddin pun memastikan, tidak ada yang menginginkan hal tersebut terjadi di Pilkada Serentak 2020, sebab apabila hal itu yang terjadi maka kualitas Pilkada menurun dan kepercayaan masyarakat terhadap calon terpilih juga akan rendah.
“Ini tentu tidak diinginkan, mengingat cost Pilkada terbilang besar,” pungkas mantan Evaluator Harian Umum Suara Pembaruan ini. (Daniel)
Add comment