JAKARTA: Indonesia telah menegaskan diri sebagai negara dengan sistem presidensial. Amandemen UUD 1945 telah mempertegas hal itu: Presiden dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A), memegang masa jabatan tetap lima tahun (Pasal 7), dan tidak bisa dijatuhkan melalui mosi tidak percaya seperti di sistem parlementer, kecuali lewat mekanisme impeachment (Pasal 7A–7B).
DPR RI menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (Pasal 20 dan 20A), Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang (Pasal 24C), Mahkamah Agung menjaga peradilan (Pasal 24A), dan lembaga independen seperti KPU (Pasal 22E) maupun BPK (Pasal 23E) memperkuat akuntabilitas.
Demikian disampaikan Peneliti Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia “Wewenang dan Pola Hubungan Antarlembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara 1, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Secara desain, jelas Hakim, arsitektur ketatanegaraan ini membangun mekanisme checks and balances antar-lembaga negara, bukan melalui oposisi formal.
“Itulah ciri khas sistem presidensial sebagaimana dikemukakan oleh Juan Linz (1990). Namun, praktik politik di Indonesia justru menunjukkan corak yang agak berbeda,” kata Hakim.
Dalam sistem parlementer, lanjut Hakim, oposisi adalah institusi wajib.
“Partai yang tidak membentuk pemerintahan, otomatis menjadi oposisi resmi dengan perangkat shadow cabinet dan kewenangan untuk menjatuhkan kabinet lewat mosi tidak percaya. Di Inggris, oposisi bahkan mendapat status formal sebagai Her Majesty’s Loyal Opposition (Bogdanor, 2011),” ujar Hakim.
Sebaliknya, tutur Hakim, sistem presidensial tidak mengenal oposisi permanen.
“Kontrol terhadap eksekutif berlangsung melalui parlemen, lembaga yudisial, dan institusi independen. Partai yang kalah pemilu tetap bisa bersuara di parlemen, tetapi tidak memiliki status oposisi resmi,” terang Hakim.
Dalam praktiknya, sebut Hakim, Indonesia berada di antara keduanya.
“Meski secara konstitusi presidensial, partai politik kerap mendeklarasikan diri sebagai oposisi ketika tidak bergabung dalam kabinet,” sambung Hakim.
PDIP, kata Hakim, pernah menempatkan dirinya di luar pemerintahan SBY, sementara Gerindra juga pernah memilih jalur yang sama.
“Fenomena ini menimbulkan keabu-abuan: apakah Indonesia tetap teguh presidensial, ataukah diam-diam meminjam logika parlementer?,” ucap Hakim.
Hakim menyebut, posisi politik di Indonesia bersifat cair.
“Partai yang awalnya mengaku oposisi bisa sewaktu-waktu bergabung dalam koalisi besar, dan sebaliknya, partai koalisi bisa keluar jika kepentingannya tak terakomodasi. Koalisi gemuk yang merangkul hampir semua partai pun menjadi praktik lumrah,” cetus Hakim.
Hakim menilai, kondisi ini melemahkan garis tegas antara koalisi dan oposisi.
“DPR RI yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru sering kehilangan ketajaman karena mayoritas anggotanya berada dalam koalisi pemerintah. Akibatnya, fungsi oposisi lebih banyak dimainkan oleh media, masyarakat sipil, atau lembaga independen seperti MK dan KPK (Aspinall & Mietzner, 2019),” ujar Hakim.
Fenomena oposisi abu-abu ini, tutur Hakim, jelas memperlihatkan hibriditas.
“Konstitusi presidensial berjalan, tetapi praktik politik kerap bercorak parlementer,” ulas Hakim.
Hakim berpendapat, hibriditas politik Indonesia tidak hadir tanpa akar.
“Sejak awal, bangsa ini menempatkan keguyuban dan konsensus sebagai nilai utama dalam mengelola perbedaan. Pancasila dipilih sebagai dasar negara untuk menengahi perdebatan ideologis yang tajam,” imbuh Hakim.
Hakim menerangkan, demokrasi yang sehat membutuhkan harmoni, tetapi juga ketegangan produktif.
“Tanpa oposisi yang tegas, demokrasi bisa kehilangan daya kritisnya; tetapi tanpa keguyuban, demokrasi bisa terjebak dalam polarisasi yang membelah bangsa,” tukas Hakim.
Hakim berpendapat, Demokrasi Jalan Ketiga Indonesia” adalah model khas yang lahir dari pengalaman sejarah dan budaya politik kita.
“Secara konstitusional kita presidensial, secara praktik sering bercorak parlementer, dan hasilnya adalah oposisi abu-abu. Jalan ini bukan tanpa risiko, tetapi juga bukan tanpa nilai,” tandas Hakim.
“Jika dijaga dengan seimbang, demokrasi jalan ketiga bisa menjadi kontribusi Indonesia bagi percakapan global tentang bagaimana demokrasi dapat bertahan di tengah keragaman dan tantangan zaman,” pungkas Abdul Hakim. (Daniel)
Add comment