JAKARTANEWS.ID – JAKARTA: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menegaskan menolak revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP PPP Arsul Sani kepada para awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (27/1/2021).
Arsul Sani mengatakan, UU Pemilu saat ini sudah didesain untuk beberapa kali pemilu. “Saya kira PPP sudah menyampaikan sikap baik ketua umum maupun ketua fraksi, pilihan pertama PPP itu tidak merevisi UU Pemilu,” kata Arsul.
Menurut Arsul, jika kembali direvisi, desain UU Pemilu yang didesain untuk jangka panjang tersebut tidak tercapai. “Karena ketika kita buat UU Pemilu yang sekarang disebut kitab UU Pemilu itu memang didesain untuk jangka panjang,” ucap Wakil Ketua MPR RI itu.
Arsul berpendapat, apabila UU Pemilu kembali direvisi maka desain UU Pemilu untuk panjang tak akan tercapai. “Nah kalau setiap pemilu kita ubah lagi Undang-undangnya, tidak tercapai dong dulu desain bahwa Undang-undang Pemilu itu yang untuk jangka panjang,” lanjutnya.
Seperti diketahui saat ini revisi UU Pemilu tengah dalam proses sinkronisasi dan harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Larangan Eks HTI Mencalonkan Diri Dalam Pemilu
Terkait larangan para eks anggota HTI untuk mengikuti pemilu, baik pilkada, pileg, maupun pilpres seperti termaktub dalam RUU Pemilu Pasal 182 ayat (2) huruf jj, Arsul Sani menyatakan, hal itu sebagai tindakan diskriminatif.
“Kalau menyebutkan organisasi itu akan cenderung diskriminatif,” ungkap Arsul.
Arsul Sani menuturkan, apabila seorang warga negara Indonesia (WNI) tidak mengakui 4 konsensus bernegara, yakni: Pancasila, UUD’45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI seperti yang selama ini dianut HTI, maka perlu dipertanyakan kewarganegaraannya.
“Ya memang kan begini kalau orang itu tidak mau mengakui dan menerima 4 konsensus bernegara kita ya menurut saya memang haknya sebagai warga negara juga harus dipertanyakan, apa dia masih pantas jadi WNI atau tidak,” tutur mantan Sekjen DPP PPP ini.
Arsul mendesak, tidak perlu nama organisasi seperti HTI dicantumkan dalam RUU Pemilu nantinya. “Hanya jangan disebut nama karena itu di masa depan dapat berkembang nama apapun organisasinya dan dari kelompok apapun,” tukasnya.
Akan tetapi, Arsul mendukung apabila organisasi yang menolak 4 konsensus bernegara dilarang untuk mencalonkan diri baik pada kontestasi pilkada, pileg, dan pilpres.
“Saya kira siapapun warga negara yang tidak menundukkan diri pada 4 konsensus bernegara ya dilarang saja, tetapi tidak perlu merujuk pada kelompok tentunya. Artinya, apabila dia tidak mengakui dan mau merubah Pancasila, UUD’45, NKRI, dan Kebhinekaan kita, ya dilarang saja tetapi tidak usah menyebut nama organisasinya,” paparnya.
Lebih lanjut, Arsul menolak apabila perlakuan terhadap eks HTI disamakan dengan perlakuan terhadap eks PKI. “Soal HTI, saya kira kita harus hati-hati, kenapa? karena soal HTI ini dari sisi landasan hukum atau konstruksi hukum berbeda dengan PKI. PKI merupakan organisasi terlarang atas dasar TAP MPR, sedangkan HTI dilarang hanya dengan keputusan pengadilan,” pungkas Arsul Sani.
Sebelumnya, draf RUU Pemilu terbaru mencantumkan, eks HTI dilarang mengikuti semua kegiatan pemilu, baik pilkada, pileg, maupun pilpres.
Dalam draf itu, tepatnya pada bab I Peserta Pemilu pada Pasal 182 ayat (2) dijelaskan terkait aturan dan syarat calon peserta untuk mengikuti pemilu atau mencalonkan diri dalam pemilu.
Kemudian pada huruf jj pasal tersebut dijelaskan bahwa eks anggota HTI dilarang mengikuti pencalonan diri dalam pemilu.
“jj. bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),” begitu tertulis dalam draf itu. (Daniel)
Add comment