INDONESIANEWS.TV – JAKARTA: “…Saya bukan salah tapi saya kalah. musuh saya besar, jadi saya kalah.” Kalimat itu mengiringi kebebasan murni Siti Fadilah Supari,71 tahun. Menteri Kesehatan periode 2004-2009 era Presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono itu keluar penjara setelah masa tahanan 4 tahun mulai vonis 16 Juni 2017 di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
“Dibebaskan karena telah selesai menjalani pidana pokok, pidana denda, dan pidana tambahan uang pengganti telah dibayarkan ke negara,” kata Kabag Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham, Rika Aprianti, melalui keterangan resmi kepada media, Sabtu (31/10/2020).
Siti Fadilah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap pengadaan alat kesehatan, yang ditetapkan tersangka pada 2014, dan masuk persidangan 2017. Siti disebut menyalahgunakan wewenang dalam pengadaan alkes tahun 2005, yang merugikan negara Rp 6 milyar yang dilakukan stafnya Eselon II dimana pejabat Eselon II itu sudah membayar tanpa dihukum.
“Saya dituduh membantu dia (pejabat eselon II) dan itu tidak ada bukti, tidak ada saksi,” ucap Siti Fadilah, saat bertemu wawancara di RSPAD Gatot Soebroto, Jakpus, dengan pesohor mentalis Deddy Corbuzier dan diunggah akun Youtube Deddy Corbuzier, Rabu (20/5/2020).
Sosok Kontroversi
Pengakuan perempuan kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 6 November 1949 itu dibukukannya pada 6 Januari 2008 bertajuk “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”.
Buku itu membongkar konspirasi Barat tentang sampel virus flu burung, yang membuat marah World Health Organization (WHO) dan Amerika Serikat sehingga buku-buku edisi bahasa Inggris ditarik kecuali versi Indonesia.
Siti Fadilah berhasil mengatasi ancaman politik pandemi global mewabah Flu Burung pada 2006, juga memutus penyebaran Flu Babi (H1N1) yang merebak di Meksiko pada 2009, seperti diumumkan WHO; dan mirip Corona Virus Disease (covid-19).
“Saya membuktikan virus flu burung tidak menular. Saya protes ke PBB setelah itu stop vaksin. Saya stop flu burung tidak pakai vaksin tapi pakai politik. Pada saat itu vaksinnya dijual ke Indonesia. Kalau dijual ke Indonesia mahal dan kita harus ngutang,” ungkap anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 25 Januari 2010 hingga 20 Oktober 2014 itu.
Keanehan yang membuat nasionalismenya berontak ketika mengikuti Bill Gates di forum ekonomi internasional awal tahun itu, yang menggebu-gebu bahwa nanti akan ada pandemi dan telah mempersiapkan vaksin. Pertanyaannya, kenapa ada pandemi selalu ada vaksin dan kenapa pandeminya tidak diselesaikan?
“Dia (Bill Gates) kan bukan dokter, mengapa dia begitu fasih menganalisa akan terjadi pandemi? Menganalisa dunia akan butuh vaksin sekian miliar.
Untuk saya itu sesuatu yang tidak masuk di akal saya. Ada apa sih, dia kan pebisnis, ahli komputer, mungkin dia ahli virus, tapi virus komputer, tapi virus manusia berbeda,” ulas Siti Fadilah seraya mengingatkan Indonesia wajib dan mampu mandiri membuat vaksin.
Petisi Fadilah
Pengalaman dan keahlian sebagai menteri kesehatan dalam mengatasi ancaman politik pandemi flu burung dan flu babi, juga menutup Namru 2 sebagai lembaga penelitian AS di Indonesia, menggugah semangat nasionalisme.
Lembaga kegawatdaruratan medis dan kebencanaan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), misalnya, mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membebaskan Menkes Siti Fadilah untuk menghadapi Covid19 saat ini.
“Sika kritis beliau mendapat apresiasi dari berbagai negara lain dan dianggap menyelamatkan dunia dari bahaya konspirasi virus dunia,” ujar Presidium MER-C Yogi Prabowo waktu itu (20/4).
“Satu hal yang menjadi prioritasnya adalah kesehatan rakyat. Beliau sadar betul bagaimana kesehatan adalah isu yang sangat penting dan berkaitan erat dengan ketahanan nasional suatu bangsa. Inilah yang ia (Siti) jaga selama diamanahi tanggung jawab sebagai Menkes.”
Kondisi itulah yang menginisiasi Nyoman Kusuma dan Jandi Satrio Wibowo membuat situs Charge.org sebagai petisi berjudul: “Bebaskan Siti Fadilah Supari, Berjuang Bersama Melawan Wabah Corona”. Petisi tertanggal 31 Maret 2020 itu, diakui pencetusnya, telah merekam 42 ribu tandatangan warganet (Jumat, 17/4), tetapi esok hari hanya tersisa 8000 itu, ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
“Kami berharap hal ini terjadi dikarenakan adanya gangguan sistem pada platform Change.org, bukan karena adanya faktor eksternal yang ingin menghambat perjuangan kami,” ujar Jandi, yang mengajak para simpatisan menandatangani secara online petisi tersebut sembari mencari solusi mengumpulkan dukungan yang lebih aman ke depannya. (royke)
Add comment