INDONESIANEWS.TV – JAKARTA: Beredar sebuah surat tertanggal 29 Oktober 2020 dari sekelompok warga kampung Kauman Gondomanan Yogyakarta yang memprotes pemasangan ucapan Natal oleh Museum Sonobudoyo.

Museum yang terletak di sekitar kawasan kampung Kauman, berhadapan dengan Istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu, memasang atribut ucapan Selamat Natal 2020 dan Tahun Baru 2021. Pihak museum pun akhirnya melepas atribut tersebut.

Meresponi hal tersebut, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi menyayangkan langkah yang diambil oleh pihak museum dalam merespons tuntutan kelompok intoleran.

“Tindakan mengalah terhadap kelompok intoleran menambah preseden buruk sekaligus memberikan daya dorong bagi penjalaran intoleransi,” kata Hendardi, Sabtu (31/10/2020).

Menurut Hendardi, Museum Sonobudoyo merupakan museum negeri dengan kedudukan kelembagaan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Artinya, museum Sonobudoyo merupakan museum Pemerintah. Dengan demikian, sebuah kewajaran belaka jika museum tersebut memberikan ucapan selamat atas hari-hari besar keagamaan di Indonesia, termasuk Natal,” jelas Hendardi.

Hendardi menilai, penolakan sekelompok warga Kauman tersebut merupakan penanda menguatnya konservatisme sekaligus ekspresi intoleransi.

“Dalam pandangan SETARA Institute, adalah sesuatu yang tidak logis jika perilaku intoleran semacam itu kemudian di-framing oleh pelakunya, seakan-akan kelompok lain yang berperilaku intoleran.

Mereka, lanjut Hendardi, sedang memainkan lagak sebagai korban (playing victim).

“Lagak semacam itu belakangan menjadi tren baru kelompok intoleran, seperti yang terjadi juga di Semarang, terkait pembangunan GBI Tlogosari yang dituduh intoleran karena tidak menghargai mayoritas muslim,” tegasnya.

Hendardi mengungkapkan, surat protes oleh sekelompok warga Kauman atas atas pemasangan ucapan Natal (dan Tahun Baru) di Musem Sonobudoyo, bukanlah ekspresi intoleransi dan konservatisme yang pertama.

“Sebelumnya, terjadi, paling tidak, dua kasus intoleransi dan konservatisme keagamaan di Kauman sebelum ini. 1) Pemaksaan penggunaan Masjid Gedhe Kauman, pada Oktober 2019, untuk acara Muslim United yang menghadirkan figur-figur konservatif, meskipun Kraton, pemilik resmi Masjid tersebut, tidak memberikan izin. 2) Penolakan terhadap Gus Muwafiq untuk mengisi ceramah dalam rangka Harlah NU pada Maret 2020, meskipun acara tersebut sudah mendapatkan izin dari Kraton,” bebernya.

Menurut informan SETARA Institute di Kauman, ungkap Hendardi, corak keislaman di Kauman kini dapat dikategorisasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Muhammadiyah moderat dan Muhammadiyah salafi-wahabi yang konservatif.

“Fenomena tersebut harus mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan di Kauman, khususnya Sultan Hamengkubuwobo X, sebagai Raja Kasultanan Ngayogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,” imbuhnya.

Hendardi pun mengingatkan, dibutuhkan revitalisasi Kauman agar narasi keislaman yang berkembang disana kembali pada spirit Muhammadiyah ala KH Ahmad Dahlan yang moderat dan berkontribusi besar bagi keindonesiaan kita.

“Tentu hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan menyelenggarakan agenda-agenda demokratis dan inisiatif-inisiatif progresif melalui pelibatan (engagement) masyarakat sipil setempat,” pungkasnya. (Daniel)

Add comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesianews.tv merupakan portal berita dalam format full video, dengan rubrik antara lain NEWS, TALKSHOW, LIVE STREAMING, dan MAGAZINE yang dikerjakan profesional jurnalis, perwarta TV, dan webmaster.