INDONESIANEWS.TV- JAKARTA: Krisis multidimensi efek pandemi Covid19 mulai dirisaukan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), Bambang Soesatyo. Menyusul impor gula terindikasi menjadi penyebab membengkaknya defisit perdagangan non-migas.
‘’Saya mengingatkan dan mengajak kita semua untuk jangan gagal fokus. Kita sedang dalam periode krisis kesehatan dan resesi ekonomi,” ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis Kamis (26/11).
“Kita harus berupaya sungguh-sungguh agar krisis kesehatan dan resesi ekonomi itu tidak menyebabkan krisis multidimensi.”
Bagi mantan ketua DPR RI itu, semua elemen masyarakat wajib fokus pada upaya menjauh dari zona krisis ekonomi dengan progres penanganan krisis kesehatan berlarut-larut. Dampak buruk lain berupa keprihatinan perkembangan dunia pendidikan terkait kegiatan belajar mengajar.
Defisit gula impor
Di tempat terpisah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Didi Sumedi, mengakui perlu dibenahinya kebijakan impor gula yang memperbesar defisit perdagangan nonmigas. “Peningkatan produksi dalam negeri harus dimulai demi membenahi neraca perdagangan nasional,” ujar Dirjen Didi Sumedi, dalam National Sugar Summit, Selasa (24/11).
Kemendag mencatat gula dan kembang gula menjadi komoditas nonmigas penyebab defisit terbesar keenam.
Pada periode Januari-Oktober 2019, defisit perdagangan gula mencapai 1,18 miliar dolar AS, disusul defisit periode Januari-Oktober 2020 menjadi 1,87 miliar dolar AS. Sementara defisit APBN 2020 mencapai 6,34 persen yang dinilai rendah Menkeu Sri Mulyani.
“Kurun waktu 2015-2019, volume impor gula tumbuh 4,5 persen/tahun. Adapun rata-rata pertumbuhan nilai impor berkisar 0,2 persen/tahun. Laju defisit perdagangan gula terjadi lantaran kebutuhan gula nasional tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri,” ujar Sumedi.
Rata-rata produksi gula nasional hanya 2,2 juta ton/tahun diantara kebutuhan gula konsumsi per tahun yang 2,8 juta ton dan gula industri 3,62 juta ton atau impor 4 juta ton/tahun.
Sepanjang Januari-September 2020, nilai impor gula Indonesia naik 63,8 persen (yoy) dari 1 miliar dolar AS menjadi 1,7 miliar dolar AS, atau lebih tinggi dibanding kenaikan volume impor yang naik 58%. “Sebagian besar impor gula berupa gula kristal mentah atau gula mentah yang nilainya mencapai 1,6 miliar dolar AS atau setara 4,64 juta ton,” ujarnya.
Petani protes
Kondisi itu rutin diprotes Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Katanya, kebijakan impor dinilai hanya semakin mempersulit daya saing gula hasil olahan tebu petani lokal.
Alasannya, kenaikan harga gula saat ini tidak bisa dijadikan alasan menambah kuota impor kendati momentum sesaat itupun merupakan ruang bagi petani tebu untuk bisa tetap produksi sepanjang tahun.
“Saya pikir mereka bukan mau memenuhi pasar tapi mau cari untung doang,” ungkap Ketum a Umum DPP APTRI, Soemitro Samadikoen kepada media, Senin (9/3/2020).
Soemitro membantah kelangkaan gula penyebab kebijkan impor menjadi jalan keluar.
Alasannya, stok gula saat ini masih tersedia dan petani tebu tak lama lagi akan memasuki musim panen pada April 2020. Menyusul penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog mengimpor 29.750 ton gula mentah untuk digunakan bahan baku gula kristal putih (GKP) sebagai gula konsumsi masyarakat.
“Bagaimana produksi petani lokal bisa meningkat, sementara impor gula tetap dilakukan,” ujar Soemitro geram, seraya berkata,”Kalau gula sudah enggak ada di pasar itu baru namanya langka”. (royke)
Add comment