JAKARTA – Puluhan pakar Hukum Tata Negara (HTN) yang tergabung dalam Constitutional Administrasi Law Society (CALS) melawan pembangkangan Konstitusi Presiden Joko Widodo dan partai pendukung yang mendelegitimasi Pemilahan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Para pakar HTN itu adalah Aan Eko Widiarto,
Alviani Sabillah, Auliya Khasanofa, Beni Kurnia Illahi, Bivitri Susanti, Charles Simabura, Denny Indrayana, Dhia Al-Uyun,
Fadli Ramadhanil, Feri Amsari, Herdiansyah Hamzah, Herlambang P. Wiratraman, Hesti Armiwulan, dan Idul Rishan.
Serta, Iwan Satriawan, Mirza Satria Buana, Muchamad Ali Safa’at, Muhammad Nur Ramadhan,
Pery Rehendra Sucipta, Richo Andi Wibowo, Susi Dwi Harijanti, Taufik Firmanto, Titi Anggraini, Violla Reininda, Warkhatun Najidah, Yance Arizona, dan Zainal Arifin Mochtar.
Salah satu juru bicara CALS Bivitri Susanti menegaskan, Presiden Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) ditengarai
hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi
gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun
2024 (Pilkada 2024).
“Dengan mengabaikan dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada),”tandas Bivitri, dalam keterangan rilisnya,Rabu (21/08/2024).
Menurut Pakar Hukum Tata Negara itu, ada upaya pengabaian ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama Daerah Khusus Jakarta, dapat didominasi KIM+ tanpa kandidat kompetitor yang riil, dan memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah meskipun belum memenuhi
syarat usia pencalonan kepala daerah.
“Pengabaian tersebut akan dijalani oleh Presiden dan DPR dengan merevisi sejumlah ketentuan UU Pilkada dalam waktu singkat dan serampangan guna menganulir garis-garis batas konstitusional yang diterbitkan MK, yang direncanakan pada hari Rabu, 21 Agustus 2024,”terang Bivitri.
Pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, lanjut Bivitri, MK menafsirkan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala
daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap, dengan persentase yang setara dengan persentase pada pencalonan perseorangan.
Ketentuan tersebut memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi seluruh partai politik, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi di DPRD, serta membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding melawan dominasi koalisi gemuk.
Sementara itu, Pengamat Pemilu Titi Anggraeni mengatakan, pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari titik sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan.
“Pasangan calon terpilih, sebagaimana anomali yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Artinya, putusan ini dapat menggulung karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah yang belum memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon.
Presiden Joko Widodo beserta segenap partai politik pendukungnya tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang eksesiftanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif, seolah ia merupakan hukum, bahkan melebihi hukum dan sendi-sendi konstitusionalisme,”tandas Titi.
Rezim yang otokratis ini, lanjut Titi, kembali melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasikan kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintahan daerah.
Menurut dia, Upaya demikian mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal, sebab aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara. Masih lekat di benak masyarakat bagaimana Pemilihan Umum Tahun 2024 dibangun dengan fondasi manipulasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran etika yang terstruktur, sistematis, dan masif.
“Presiden Jokowi dan partai pendukungnya menggunakan cetak biru serupa untuk melanggengkan dinasti politik yang dilanjutkan oleh putranya, melalui perombakan hukum secara instan dengan menyalahgunakan institusi demokrasi,
yaitu mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah agar sesuai dengan figur yang
akan diusung,”ucap Titi.
Dia menegaskan, Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik
pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat.
Di tempat berbeda, terjadi perdebatan di Rapat Panitia Kerja (Panja) terkait Pasal menyangkut usia batas minimal calon gubernur dan wakil gubernur berusia 30 tahun terhitung sejak pelantikan menjadi perdebatan di Rapat Panja DPR RI. Mereka mempertanyakan pasal revisi UU Pilkada ini akan mengikuti putusan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
“DIM 72 berkaitan dengan huruf B berusia paling rendah 30 tahun, untuk calon gubernur dan cawagub serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wali kota,” kata Staf Ahli di Panja membacakan DIM tersebut.
“Tanggapan dari pemerintah tetap, tadi ada usulan menjadi tambahan frasa sebagai berikut; setelah kata calon wakil wali kota ada tambahan kata terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih,” tambahnya.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan jika putusan Mahkamah Agung sejalan jika batasan usia kepala daerah terhitung sejak pelantikan. Awiek menyebut hal ini berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak aturan itu.
“Pimpinan bagaimana ketentuan pasal 20 UUD 45 konstitusi kita DPR berwenang untuk membentuk UU. Apakah masing-masing fraksi ingin merujuk pada putusan MA apakah pada pertimbangan MK silakan kemerdekaan masing-masing fraksi ditanyakan saja,” usul fraksi Gerindra Habiburokhman dalam rapat. (Ralian)
Satu persatu anggota menyampaikan pendapatnya. Supriansyah Golkar mengaku setuju dengan pendapat Habiburokhman.
“Sebenarnya ini nggak terlalu perlu kita perdebatkan. Panduannya kan sudah sangat jelas ya, saat dilantik itu sudah sangat toleran itu. Kita setujui aja,” ujar anggota fraksi PAN Yandri Susanto.
Kendati demikian persetujuan ini disanggah oleh fraksi PDIP. Arteria Dahlan hingga Putra Nababan angkat bicara dalam rapat.
“Kita semua kan sudah tahu yang menjadi objek dari putusan MA itu adalah PKPU sedangkan menjadi objek dari putusan MK itukan adalah undang-undang pada saat ini ya, sedang kita akan lakukan pembahasan sekaligus revisi,” kata Arteria. (Ralian)
Add comment