INDONESIANEWS.TV – JAKARTA: Menko Polhukam Mahfud MD tidak perlu repot repot untuk membentuk Tim Pemburu Koruptor. Menko Polhukam cukup mengawasi secara agresif lembaga penegak hukum dan instansi di bawah koordinasinya agar serius memberantas korupsi, terutama menangkap Djoko Tjandra dan menciduk semua pejabat negara yang memberi ‘karpet merah’ pada buronan kakap tersebut.
Hal tersebut disampaikan Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S. Pane kepada para awak media melalui keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).
Neta menilai, pembentukan Tim Pemburu Koruptor dari rezim ke rezim tidak ada gunanya.
“Koruptor tetap nyaman dan happy kabur ke luar negeri. Saat ini misalnya, ada 39 koruptor buronan di luar negeri karena Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk rezim masa lalu kerjanya tidak maksimal,” kata pria kelahiran Medan, 55 tahun lalu tersebut.
Sebab itu, saran Neta, lebih baik Menko Polhukam yang membawahi Polri, kejaksaan, dan Menkumham mendorong percepatan penangkapan Djoko Tjandra dan mengawasi secara agresif kinerja lembaga di bawah koordinasinya.
“Ini lebih bermanfaat ketimbang Mahfud berhalusinasi dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor, yang bisa tumpang tindih dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung (Kejakgung), dan KPK,” tuturnya.
Menurut Neta, Menko Polkuham seharusnya segera mendalami pengakuan Mabes Polri yang mengatakan, Brigjen Prasetyo mendampingi Djoko Tjandra dalam perjalanan ke Kalimantan Barat (Kalbar).
“Bagi IPW pengakuan Mabes Polri ini tidak mengejutkan.Jauh hari sebelumnya, IPW sudah mendapat foto Brigjen Prasetyo mendampingi buronan kakap Djoko Tjandra ke Pontianak dan IPW juga mendapat foto copy dokumen perjalanan mereka,” ujar Penulis Buku Jangan Bosan Kritik Polisi ini.
Namun, lanjut Neta, yang perlu digali Menko Polhukam dari penjelasan Mabes Polri itu adalah dalam rangka kepentingan apa antara jenderal polisi itu dengan sang buronan kakap ke Kalbar.
“Benarkah Brigjen Prasetyo mengawal Djoko Tjandra agar tidak diganggu siapa pun selama perjalanan ke Kalbar. Apakah pengawalan sang jenderal ini murni gratis dan tidak ada gratifikasi di baliknya? Mungkinkan pengawalan itu inisiatif pribadi atau ada jenderal yang lebih tinggi yang memerintahkan Brigjen Prasetyo mengawal Doko Tjandra?,” tanyanya.
Neta berpendapat, jika pengawalan itu atas inisiatif Brigjen Prasetyo tentunya saat Djoko Tjandra muncul di Bandara Pontianak sudah ditangkap oleh Kapolda Kalbar, mengingat pangkat Kapolda lebih tinggi dari Prasetyo.
“Jika Kapolda Kalbar tidak tahu bahwa Joko Candra muncul di wilayah tugasnya, ini akan lebih aneh lagi. Sebab akan menjadi pertanyaan, kenapa Kapolda Kalbar tidak tahu, ada apa dengan cara kerja intelijen di Polda Kalbar sehingga mereka tidak bisa mendeteksi kemunculan seorang buronan kakap di wilayah tugasnya,” jelas mantan Wapemred Harian Jakarta ini.
Untuk itu, imbuh Neta, Menko Polhukam perlu mendesak Mabes Polri menjelaskan secara transparan tentang aksi pengawalan Brigjen Prasetyo terhadap Djoko Tjandra dan mengapa Kapolda Kalbar membiarkan serta tidak menangkap buronan kakap yang sudah buron selama 11 tahun tersebut.
“Agar mata rantai kasus Djoko Tjandra ini terungkap terang benderang dan para pejabat Mabes Polri tidak membuat misteri baru dalam kasus Djoko Tjandra, Menko Polhukam perlu agresif mengawasi kinerja Polri,” tegasnya.
Hal ini, tambah Neta, lebih urgent dan strategis ketimbang membentuk Tim Pemburu Koruptor.
“Wong koruptornya sudah datang tidak ditangkap kok malah dikasih surat jalan, lalu apa manfaat Tim Pemburu Koruptor,” pungkas mantan Redpel Harian Aksi ini. (Daniel)
Add comment